Senin, 04 Juni 2012

Jika anda berkunjung ke Luhak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, kurang lengkap rasanya jika tidak menikmati langsung berbagai objek wisata yang ada di kabupaten ini. Alamnya yang asri menawarkan sejuta pesona yang sayang jika anda lewatkan. Sawah yang menghampar luas dan berjenjang hingga perbukitan hijau menjulang tinggi yang masih tetap perawan. Seperti “syurga” dunia. Salah satu keindahan alam yang masih terjaga keasliannya adalah objek wisata Puncak Pato. Objek wisata ini terletak di Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo Utara.
Dalam sejarah Minangkabau, Puncak Pato dikenal sebagai tempat terjadinya kesepakatan antara Kaum Adat dan Kaum Agama yang dikenal dengan “Sumpah Sati Bukik Marapalam”, bahwa adat dan agama bukan sesuatu hal yang dipertentangkan hingga lahirlah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ASB-SBK).
Tidak sulit untuk menjangkau objek wisata ini. Dari pusat Kota Batusangkar, ibukota Kabupaten Tanah Datar, anda hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit atau lebih kurang 17 km ke arah utara untuk mencapai lokasi, melewati Kecamatan Sungayang dengan perkampungan penduduk dan hamparan sawah. Sesekali angin sepoi-sepoi akan menerbangkan ingatan kepada syahdunya alam Tanah Datar. Semakin dekat dengan objek wisata tersebut, akan melewati perbukitan hijau. Jalan kabupaten cukup baik dengan aspal mulus. Namun anda tetap harus hati-hati dan waspada. Melewati nagari Andaleh Baruh Bukit, Kecamatan Sungayang yang berhingga menuju Puncak Pato, jalan dengan banyak tikungan patah dan tajam disertai pendakian akan banyak dijumpai. Apalagi jalannya agak sempit jika dua minibus berpapasan. Dari beberapa tikungan tajam hanya terdapat satu “kaca cembung” di tepi jalan.
Setelah memasuki gerbang yang bertuliskan “Selamat Datang di kampung tradisional”, anda telah sampai di Puncak Pato. Masyarakatnya yang ramah akan menyapa anda dengan penuh kekeluargaan. Di sekitar Puncak Pato terlihat pula masyarakat yang menggarap tanah dengan menanam jagung dan berladang. Ketika saya dan beberapa teman memasuki areal Puncak Pato, di gerbang depan anda akan membayar uang masuk objek wisata sebesar lima ribu rupiah per orang. Akan tetapi di objek wisata ini tidak ada karcis tanda masuk yang diberikan petugas pintu masuk sebagai bukti anda mengunjungi Puncak Pato. Uniknya, yang mengelola pintu masuk juga bukan petugas berpakaian resmi objek wisata. Melainkan beberapa anak remaja lelaki yang masih usia sekolah.
Tempat parkir khusus pengunjung pun tidak ada sama sekali. Apabila anda ke Puncak Pato dengan kendaraan roda dua, bisa anda parkir di depan gerbang masuk atau di dekat pos. Boleh juga dibawa ke dalam areal dan memarkir kendaraan anda di bawah pohon rindang agar tidak panas oleh terik matahari. Bila dengan kendaraan roda empat, anda bisa memarkir kendaraan di sebelah ladang penduduk di bawah pohon.
Selanjutnya, anda tinggal berjalan mendaki bukit setapak demi setapak menuju puncaknya. Rindangnya pepohonan besar tidak akan membuat anda panas meskipun cahaya matahari tengah terik. Di kanan dan kiri jalan setapak yang terbuat dari semen dan beton ada berjejer pepohonan yang membuat suasana seketika menjadi sejuk tidak terkira. Beberapa menit berjalan, anda akan sampai di Puncak Pato.
Dari sana anda akan terkesima melihat hamparan bukit hijau yang menjulang tinggi di sekeliling Puncak Pato sebagai pasak bumi. Di kejauhan, rumah-rumah penduduk di tepi bukit nun jauh seperti titik-titik tinta. Jalan-jalan kampung seperti garis yang berkelok-kelok. Di Puncak Pato, angin semilir akan membelai tubuh, membuat anda betah untuk berlama-lama disana. Sambil menikmati eloknya alam Puncak Pato sepertinya kurang afdal tanpa makanan sebagai cemilan atau makan siang bersama keluarga. Disana juga disediakan beberapa buah tempat duduk tembok. Atau jika memilih duduk di rerumputan di bawah pohon rindang juga boleh.
Beberapa pasang muda-mudi yang tengah memadu kasih juga bisa dijumpai disana. Sekedar berbincang-bincang atau bercengkrama dengan sang kekasih. Remaja berpakaian seragam sekolah dengan teman-teman maupun pacarnya tampak di beberapa sudut. Sambil menikmati Puncak Pato, pengunjung yang kebanyakan dari kalangan anak-anak muda sesekali mengabadikan dirinya berlatar alam Puncak Pato melalui foto di kamera digital atau handphone.
Namun sayangnya, masyarakat, pengunjung dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar kurang mengelola objek wisata ini dengan baik dan lebih memikat. Hampir di semua bangunan permanen yang dibangun di Puncak Pato kondisinya tidak terawat. Coret-coteran tangan-tangan jahil membuat bangunan tersebut menjadi kurang indah. Ada tulisan bertuliskan SD ini, SMP itu, SMA titik-titik. Ada juga tulisan yang membuat lucu jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, seperti “Sutan Kayo Indak Bapitih” (Sutan Kaya Tidak Beruang). Ditambah lagi dengan sampah plastik berupa makanan dan minuman yang dibuang di sembarang tempat oleh pengunjung. Tidak ditemukan juga tempat sampah di objek wisata tersebut. Fasilitas penunjang seperti wc atau mushola pun tidak disediakan di Puncak Pato. Praktis realita tersebut membuat objek wisata alam yang begitu  indah menjadi kurang lengkap.
Karenanya, Pemkab Tanah Datar mungkin perlu menjadikan objek wisata Puncak Pato ini lebih baik lagi pengelolaannya. Pembangunan fasilitas dengan membenahi segala kekurangan yang ada, sehingga keindahan alam, semilirnya angin, benar-benar menjadi sempurna dengan kelengkapan fasilitas. Konsep agrowisata setidaknya bisa dikembangkan di kawasan ini. Apalagi jika dibangun penginapan bagi wisatawan, sambil menawarkan wisata pertanian yang dikelola bersama masyarakat setempat. Pengunjungpun bisa semakin dimanjakan dan mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan pertanian masyarakat. Sehingga ke depan Puncak Pato bisa tetap  menjadi “syurga” alam yang memikat hati wisatawan untuk berwisata ke Kabupaten Tanah Datar.(*)